Friday, October 28, 2011

Kalah Itu Indah



Oleh: Gede Prama


Entah dari mana asal usulnya, entah mulai dari wacana, entah dari masyarakat dengan ciri ego centered society, entah merupakan ekses negatif dari individualisme berlebihan, yang jelas wacana kita - di dunia politik, bisnis maupun dunia lainnya - sangat dominan diwarnai oleh kecenderungan hanya mau menang. Jarang sekali - kalau tidak mau dikatakan tidak ada - ada pihak-pihak yang secara ikhlas rela kalah.

Ibarat turnamen sepak bola, juara satunya selalu satu. Sedangkan yang bukan juara satu selalu jumlahnya lebih banyak dari satu. Sehingga kalau dilakukan adu jotos antara totalitas manusia yang kalah dengan mereka yang menang, maka juara satunya pasti babak belur.
Dalam perspektif seperti ini, apa yang terjadi di dunia politik khususnya di bulan-bulan terakhir ini sebenarnya mencerminkan tiga hal penting. Pertama, tidak ada pihak yang mau kalah. Seolah-olah kalah adalah barang haram dan hina dina. Kedua, siapa saja yang jadi pemenang hampir selalu berada pada posisi tersiksa diserang dari kiri-kanan. Ketiga, sebagai akibat dari point pertama dan kedua tadi, maka arena politik kita lebih mirip dengan arena kerusuhan, dibandingkan turnamen sepak bola plus nilai-nilai sportivitasnya.

Mari kita mulai dengan point pertama tentang tiadanya orang yang mau kalah. Dengan sedikit kejernihan saya ingin mengajak Anda bertutur, dalam turnamen olah raga umumnya, kalah disamping menjadi resiko bagi siapa saja yang mau ikut pertandingan, kalah sebenarnya bersifat mulia. Dikatakan mulia, karena di bahu pihak-pihak yang kalahlah nasib kemeriahan dan kedamaian pertandingan ditentukan. Untuk menang, Anda dan saya tidak memerlukan kearifan dan kebesaran jiwa. Semuanya serba menyenangkan, bermandikan tepuk tangan dan kekaguman orang, dan yang paling penting keluar dari lapangan berselimutkan pujian banyak orang. Namun untuk kalah, ceritanya jauh sekali berbeda. Ejekan dan makian orang memang kadang datang. Usaha kita memang terasa sia-sia. Banyak mata yang tadinya bersahabat jadi bermusuhan.

Akan tetapi, di balik semua ejekan dan hinaan tadi tersembunyi danau-danau kemuliaan yang amat luas. Fundamen dasar bangunan demokrasi masyarakat manapun, dibangun di atas jutaan bahu manusia-manusia yang kalah. Tidak ada satupun bangsa bisa membuat dirinya jadi demokratis tanpa fundamen terakhir. Dengan kata lain, keindahan demokrasi - kalau mau jujur - lebih banyak ditentukan oleh pihak yang kalah. Keindahan tadi berubah menjadi kemuliaan, karena sudah disebut kalah plus seluruh makian orang banyak, tetapi malah lebih menentukan nasib orang banyak.

Anda bisa bayangkan nasib Jepang yang berganti Perdana Menteri demikian sering, nasib Amerika yang telah berganti presiden puluhan kali, serta nasib bangsa-bangsa lain yang sudah berganti pemimpin demikian sering. Tanpa kebesaran jiwa pihak yang kalah, setiap pergantian pemimpin akan ditandai oleh kemunduran akibat kerusuhan-kerusuhan yang tidak perlu.
Ini dari segi pihak yang kalah. Dari segi pemenang, menang memang menghadirkan banyak kemewahan-kemewahan. Kekaguman, tepuk tangan, jumlah pengikut yang bertambah, sampai dengan kekuasaan yang menyilaukan. Semua ini memang buah hasil dari perjuangan panjang dan melelahkan. Bagi banyak pemenang, ini memang hadiah yang layak diterima. Hanya saja, sadar bahwa bangunan institusi demokrasi di manapun senantiasa dibangun di atas jutaan bahu-bahu manusia kalah, selayaknya pemenang sadar di atas bangunan apa mereka berdiri.
Dalam bangunan fisik yang sebenarnya, fundamennya adalah bata, pasir, semen dan barang-barang mati lainnya. Bangunan demokrasi berdiri di atas bahu-bahu manusia kalah yang hidup, dinamis, mengenal emosi dan kalkulasi-kalkulasi politik. Makanya, sungguh mengagumkan bagi saya, ketika George W. Bush memulai pidato pertamanya sebagai presiden AS dengan kalimat indah seperti ini : 'I was not elected as President to serve one party, but to serve one nation'.

Lepas dari keindahan-keindahan demokrasi negara lain, suka tidak suka kita sedang berhadapan dengan arena politik yang jauh dari indah. Entah mana yang benar, seorang sahabat menyebut kalau orang kalah yang tidak tahu dirilah yang menjadi biang dari kondisi kita. Ada juga yang berargumen, pemenang yang sombong dan angkuhlah yang menjadi awal semuanya. Dan bagi saya, semuanya sudah tercampur menjadi adonan-adonan kerusuhan yang mengerikan dan menakutkan.

Sebagaimana sulitnya memisahkan campuran bubur ayam yang sudah demikian menyatu, memisahkan kedua campuran adonan kerusuhan ini memang amat sulit - kalau tidak mau disebut niscaya. Apapun solusinya, kita semua memiliki kepentingan untuk mendidik generasi masa depan bahwa tidak hanya kemenangan yang menghasilkan keindahan, kalah juga bisa berakhir indah. Kemenangan memang menghasilkan banyak kegembiraan dan kebanggaan. Namun kekalahan adalah gurunya kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh kemenangan manapun. Dan yang paling penting, siapa saja yang kalah, kemudian bisa keluar dari ring pertandingan dengan tersenyum ikhlas dan menyalami pemenangnya, plus membantu pemenang dalam kenyataan sehari-hari demi kemajuan bersama, merekalah pemimpin kita yang sebenarnya. Kendati tanpa jabatan, pasukan, kekuasaan, tahta, pujian dan tepuk tangan orang lain, merekalah the true leaders. Punyakah kita the true leaders seperti itu ?.

»»  BACA LAGI...

Kulturalisme vs Strukturalisme



           Konsep Raymond Williams tentang kebudayaan, dalam cultural studies disebut kulturalisme. Karya-karya dengan pendekatan empiris—yang sangat ditekankan dalam tradisi kulturalis—mengeksplorasi bagaimana manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya. Penelitian berfokus pada pengalaman hidup dan mengadopsi definisi umum tentang kebudayaan dari perspektif antropologi, dimana hidup sehari-hari tidak dibedakan dari seni (tinggi). Secara lebih khusus, kulturalisme yang dipraktekkan Williams (juga Hoggart dan Thompson) yang biasa disebut kulturalisme kiri, merupakan sebentuk materialisme historis-kultural yang mengeksplorasi kebudayaan dalam konteks kondisi-kondisi material ketika ia diproduksi dan dikonsumsi. Jika kulturalisme menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah, maka strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents). Sebagaimana ditunjukkan Chris Barker (2000), strukturalisme sebenarnya bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman.


Tetapi strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand deSaussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan dll (lihat KUNCI edisi 4).

Dalam konteks pengabaian human agents, strukturalisme bersifat antihumanis. Konsep strukturalisme tentang kebudayaan lebih memusatkan perhatiannya pada sistem-sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu (umumnya bahasa) dan aturan-aturan bahasa yang memungkinkan terjadinya makna. Sementara menurut Williams (1980), teks hanyalah bagian dari cara berpikir yang diproduksi oleh perubahan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Kata Williams, “Kita harus berhenti dari prosedur umum untuk mengisolir objek dan kemudian menyelidiki komponen-komponennya. Sebaliknya kita harus menyelidiki praktek-praktek dan kemudian kondisi-kondisinya”.

Jika kulturalisme menekankan sejarah, maka strukturalisme justru menekankan pendekatan sinkronik, relasi-relasi struktur dianalisa dalam potongan-potongan peristiwa yang bersifat khusus. Di sini strukturalisme sangat menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena lainnya. Dan jika kulturalisme memfokuskan diri pada interpretasi sebagai jalan untuk memahami makna, maka strukturalisme justru menegaskan perlunya sebuah ilmu tentang tanda yang bersifat objektif. Dekonstruksi Pascastrukturalisme Pandangan strukturalisme tentang makna yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, sama dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Kestabilan makna inilah yang menjadi pusat serangan pascastrukturalisme atas strukturalisme.Tokoh-tokoh utama pascastrukturalisme, seperti Derrida dan Foucault, menyatakan bahwa makna tidaklah stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil dari hubungan antarteks: intertektualitas. Sama seperti strukturalisme, pascastrukturalisme juga bersifat antihumanis. Derrida (1976) menyatakan bahwa kita berpikir hanya dengan tanda-tanda, tidak ada makna asli yang bersirkulasi di luar representasi. Dan Foucault menyatakan (1984) menyatakan bahwa manusia hanyalah produk dari sejarah.
»»  BACA LAGI...