Friday, May 11, 2012

Memahami Bagaimana Virus Kegagalan Berproses





Jakarta, 28 November 2002


Dalam perjalanan hidupnya setiap orang pasti pernah mengalami apa yang disebut sebagai kegagalan. Bahkan semakin sukses seseorang maka semakin sering orang tersebut mengalami berbagai kegagalan. Perbedaannya adalah pada orang-orang yang dikenal "sukses", mereka mampu menyadari akan kegagalan tersebut lalu segera membenahi diri dan menyusun rencana baru. Sebaliknya bagi orang-orang  yang "gagal", mereka tidak menyadari akan kegagalan tersebut, cenderung terlena, tidak membenahi diri  dan takut memulai sesuatu yang baru lagi. Selain itu orang-orang gagal cenderung terjebak dalam pola pikir negatif dan tidak mampu keluar dari lingkungan yang negatif.  
Apakah kegagalan terjadi dalam waktu yang tiba-tiba atau kah sama dengan apa yang disebut kesuksesan yang biasanya baru bisa dicapai setelah berjuang dalam kurun waktu tertentu dan terus-menerus? Lalu bagaimana kita harus menyiasati hal ini sehingga kita memiliki  kemampuan untuk menyadari adanya "virus-virus" kegagalan yang menggerogoti kita secara perlahan-lahan? Artikel singkat ini ingin menjawab kedua pertanyaan tersebut sekaligus memberikan alternatif solusi yang bisa anda lakukan agar anda tidak terjebak dalam pilihan-pilihan yang akan membawa anda kepada kehancuran. 

Dua Hukum

Ada dua hukum yang berlaku di planet bumi ini. Pertama, hukum buatan manusia dan kedua, hukum alam. Hukum yang pertama menerima rekayasa, tawar-menawar, dan pembalasan bagi yang melanggarnya pun masih dapat diatur. Hukum kedua amat berbeda dengan hukum pertama. Hukum yang kedua bersifat pasti dan tidak menawarkan kesempatan negosiasi bahkan belas kasihan pun tidak. Jika anda melanggarnya, baik anda tahu atau tidak tahu, sadar atau tidak sadar, maka balasannya pasti akan anda terima sesuai dengan pelanggaran tersebut. Hanya saja balasan itu bersifat tersembunyi dan tidak anda rasakan seketika sehingga sangat mungkin sekali terjadi kelengahan dalam jumlah yang tidak terhitung.
Bentuk kelengahan yang tidak disadari itulah  yang disebut dengan virus kegagalan.  Mengapa disebut virus kegagalan? Karena ibarat virus yang hidup di dalam tubuh seseorang dan menggerogoti tubuhnya secara tahap demi tahap, demikian pula kelengahan yang tidak disadari berproses terus-menerus melalui keputusan, pilihan atau pun tindakan yang dibuat oleh seseorang tanpa sadar akan pembalasan akhir atau dampaknya dalam jangka panjang.  

Proses

Untuk mengetahui bagaimana virus kegagalan berproses di dalam diri anda, berikut adalah kunci utama yang perlu dipahami.

Tidak Adanya Kesadaran akan Pembalasan Akhir

Kegagalan tidak pernah diciptakan oleh sekali tindakan yang sifatnya sekali jadi. Kegagalan yang anda rasakan dihasilkan dari akumulasi pilihan atau keputusan kecil yang salah dan tidak anda sadari pembalasan akhirnya. Dalam istilah psikologi dapat dikatakan bahwa kegagalan adalah akibat ketidakmampuan individu dalam memahami reward dan punishment dari tindakan yang dilakukannya. Contoh paling gampang yang dapat dijadikan sebagai ilustrasi tentang hal ini adalah perilaku menabung sejak kecil. Orang yang mau menabung pasti menyadari betul bahwa perilakunya tersebut akan menghasilkan reward berupa keamanan uang simpanan, memperoleh bunga, jumlah uang yang terus bertambah dan kemudahan hidup di hari tua. Sebaliknya orang yang tidak berpikir untuk menabung sejak kecil maka mungkin tidak sadar bahwa ia pasti akan mendapatkan punishment berupa tidak adanya uang simpanan yang cukup untuk hari tua, tidak memperoleh bunga, dsb.
Semua orang tentu sudah tahu bahwa pembalasan itu biasanya terjadi di bagian akhir, namun sayangnya tidak banyak orang yang waspada atau eling  dengan kondisi tersebut.  Kegagalan berproses ketika anda dan kesadaran anda dalam kondisi offline atau disconnected terhadap adanya hukum pembalasan akhir sehingga anda seringkali mengakhiri dengan paksa sesuatu yang telah anda awali dengan sangat cemerlang. Putus asa di tengah jalan, mempertahankan kesalahan dengan mengedepankan sikap egoisme, mencari sesuatu di tempat lain yang sebenarnya sudah anda miliki atau mengumbar pengembaraan yang masih penuh dengan asumsi adalah sejumlah contoh ketidaksadaran tersebut.
Kesadaran untuk selalu on-line dengan hukum pembalasan akhir tidak tergantikan oleh skill atau sertifikat akademik apapun yang anda miliki. Buktinya,  banyak orang yang anda lihat skill-nya terbatas akan tetapi bisa hidup mandiri dengan keterbatasan itu sementara tidak sedikit para penganggur yang mestinya telah dibekali kemampuan dan ketrampilan akademik tinggi tetapi tidak bisa mandiri.  Mengapa? Kemandirian adalah balasan akhir bagi orang yang pernah memulai sesuatu!  Anda membutuhkan ketrampilan mental untuk  membunuh virus kegagalan yang meracuni tubuh anda di samping tetap membutuhkan job skill sebagai penghantar langkah anda menuju kesuksesan..

Belenggu Imajinasi

Tidak main-main jika ilmuan sekaliber Einstein mengakui bahwa imajinasi lebih penting dari pengetahuan karena kekuatannya yang begitu dominan membentuk diri anda dalam kaitan gagal dan sukses. Mayoritas manusia dipenjara oleh imajinasi kegagalan tentang dirinya, imajinasi kesengsaraan hidup dan imajinasi negativitas kehidupannya secara umum.
Memang faktanya hampir tidak ditemukan kesuksesan yang tidak diawali dengan kegagalan, hanya saja bukan di situ esensinya. Jika anda gagal kemudian kegagalan tersebut anda jadikan stempel terhadap diri anda entah dengan sengaja atau tidak, maka stempel itulah yang menciptakan kegagalan demi kegagalan berikutnya. Karena baik kegagalan atau kesuksesan, keduanya bukanlah materi  riil akan tetapi lebih pada persoalan the way  of thinking, senses of seeing, sense of feeling, atau sistem keyakinan yang anda anut.
Jadi ketika anda menghembuskan imajinasi negatif tentang kegagalan terhadap sesuatu yang ingin anda wujudkan, imajinasi tersebut mengudara di alam ini lalu ditangkap oleh hukum gravitasi bumi yang kemudian menjadi kenyataan di dalam kehidupan anda. Gambaran mengenai hal ini bisa anda pelajari dari kenyataan bahwa semua kreasi diciptakan dari dua hal yaitu penciptaan mental berupa imajinasi atau ide atau gagasan baru kemudian penciptaan fisik.

Lingkungan Negatif

Pernahkah anda mengamati kenyataan bahwa setiap diadakan pertemuan orang-orang sukses, pasti sebagian besar di antara mereka sudah saling mengenal sebelumnya baik secara langsung atau tidak langsung. Apa yang anda pahami dari kenyataan tersebut? Jawabnya: mereka dibesarkan oleh dan di dalam lingkungan yang sama atau hampir sama.
Belajar dari kenyataan tersebut, maka pilihlah lingkungan positif atau  berusahalah dengan keras untuk menciptakannya sendiri jika anda belum menemukan. Ingatlah bahwa lingkungan juga memproduksi stempelnya sendiri dan lingkungan juga memiliki hukum alamnya sendiri. Ketika anda masuk ke lingkungan tertentu, maka hukum yang berlaku adalah hukum alam kolektif tertentu seperti kerja sama, kemitraan, persahabatan, percintaan, permusuhan atau lainnya. Maka sama dengan kegagalan, kesuksesan pun tidak mungkin dihasilkan hanya oleh seorang diri.
Lingkungan yang sudah diwarnai muatan  negatif  sama bahayanya dengan ideologi terlarang. Bedanya, penyebar ideologi terlarang bisa langsung dijebloskan ke penjara tetapi penyebar pikiran negatif ada di sekeliling anda dan bisa jadi keberadaannya sangat dekat sekali dengan anda bahkan termasuk di dalam diri anda.
Dengan memahami bagaimana virus kegagalan meracuni hidup anda maka paling tidak anda telah menyiapkan pisau untuk membunuhnya dan hal ini membutuhkan perjuangan anda terutama menjaga tombol potensi anda tetap online atau connected . Bisa anda bayangkan betapa halus, kecil, dan tersembunyinya virus itu sampai-sampai  dengan jarak yang paling dekat pun masih sulit anda melihatnya di samping bahwa gigitannya pun tidak langsung bisa anda rasakan seketika. Jika ingin sukses maka tingkatkan kewaspadaan diri untuk mendeteksi adanya virus kegagalan tersebut sebelum ia sempat menggerogoti anda. Semoga berguna. (jp)
»»  BACA LAGI...

Kecanduan Cinta






Oleh Jacinta F. Rini, MSi.

Team e-psikologi

Jakarta, 18 Maret 2002

 

Istilah kecanduan cinta mungkin bukan istilah yang umum terdengar. Istilah yang sudah umum beredar seperti kecanduan minum, alkohol, narkoba, rokok, kerja, dan lain sebagainya. Meski pun “barang” nya cinta, bukan berarti aman-aman saja bagi pecandunya dan tidak membawa dampak apapun juga. Justru, dampak dari kecanduan cinta ini sama buruknya untuk kesehatan jiwa seseorang. Buktinya, sudah banyak kasus bunuh diri atau pembunuhan yang terjadi akibat kecanduan cinta meski korban maupun pelaku sama-sama tidak menyadarinya...Nah, artikel di bawah ini akan mengulas sekelumit hal-hal yang berkaitan dengan kecanduan cinta.



Kecanduan Psikologis

Di dalam masyarakat sudah banyak sekali kesalahan dalam mempersepsi atau mengartikan cinta sejati dengan cinta yang bersifat candu. Berbagai film, sinetron, atau pun lagu-lagu turut andil dalam menyaru-kan kondisi kecanduan cinta dengan cinta sejati. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam pengertian yang keliru antara kecanduan cinta dengan cinta sejati. Contoh ekstrimnya, ada orang yang bunuh diri karena ditinggal pergi kekasih – dan orang menilai bahwa cerita ini mencerminkan kisah cinta sejati.



Tanda-tanda



Pada umumnya individu yang mengalami kecanduan cinta menunjukkan tanda-tanda: 

1.    Adanya pikiran obsesif, misalnya terus-menerus curiga akan kesetiaan pasangan, terus- menerus takut ditinggalkan pasangan sehingga selalu ikut ke mana pun perginya sang kekasih/pasangan.
2.    Selalu menuntut perhatian dari waktu ke waktu, tanpa ada toleransi dan pengertian
3.    Manipulatif, berbuat sesuatu agar pasangan mengikuti kehendaknya/memenuhi kebutuhannya, misalnya : mengancam akan memutuskan hubungan jika mementingkan hobi-nya
4.    Selalu bergantung pada pasangan dalam segala hal, apapun juga, mulai dari minta pendapat, mengambil keputusan sampai dengan memilih warna pakaian
5.    Menuntut waktu, perhatian, pengabdian dan pelayanan total sang kekasih/pasangan. Jadi, pasangan tidak bisa menekuni hobi-nya, jalan-jalan dengan teman-teman kelompoknya, atau bahkan memberikan sebagian waktunya untuk orang tua/keluarga.
6.    Menggunakan sex sebagai alat untuk mengendalikan pasangan
7.    Menganggap sex adalah cinta dan sarana untuk mengekspresikan cinta
8.    Tidak bisa memutuskan hubungan, meski merasa amat tertekan karena “berharap” pada janji-janji surga pasangan
9.    Kehilangan salah satu hal terpenting dalam hidup, misalnya pekerjaan atau /keluarga inti demi mempertahankan hubungan

Jadi, tidak ada istilah “puas” dalam setiap hubungan yang terjalin antara orang yang kecanduan cinta dengan pasangannya; ibaratnya seperti mengisi gelas bocor yang tidak pernah bisa penuh jika diisi, karena begitu airnya dituang lantas langsung keluar lagi dan airnya tidak pernah luber. Demikian juga orang kecanduan cinta, mereka tidak pernah mampu membagikan cinta secara tulus pada orang lain karena selalu merasa kehausan cinta. Oleh sebab itu, banyak di antara mereka yang sering berganti pasangan karena merasa harapan mereka tidak dapat dipenuhi sang kekasih. Padahal, meski puluhan kali mereka berganti pasangan, individu yang kecanduan cinta akan sulit membangun hubungan yang stabil dan abadi. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak sadar, bahwa sumber masalah justru ada pada diri sendiri – mereka lebih sering menyalahkan mantan-mantan kekasihnya/pasangannya.



Penyebab

Sebenarnya, kecanduan cinta itu adalah kecanduan yang bersifat psikologis karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis (seperti kasih sayang, perhatian, kehangatan dan penerimaan seutuhnya) di masa kecil. Menurut Erik Erikson - seorang pakar perkembangan psikososial, orang  yang pada masa batita-nya tidak mengalami hubungan kelekatan emosional yang stabil, positif dan hangat dengan lingkungannya (baca : orang tua dan keluarga), akan sulit mempercayai orang lain – bahkan sulit mempercayai dirinya sendiri. Selain itu, trauma psikologis yang pernah dialami seperti penyiksaan emosional dan fisik pada usia dini, atau menyaksikan sikap dan tindakan salah satu orang tua yang agresif dan kasar terhadap pasangan, dapat  menghambat proses kematangan identitas kepribadian dan kestabilan emosinya. Pemandangan dan pengalaman tersebut kelak berpotensi mempengaruhi pola interaksinya dengan orang lain.



Keterbatasan respon/perhatian dari lingkungan pada waktu itu, dipersepsi olehnya sebagai suatu bentuk penolakan; dan penolakan itu (menurut pemahaman seorang anak) disebabkan kekurangan dirinya. Nah, pada banyak orang, masalah ini rupanya tidak terselesaikan dan akibatnya, sepanjang hidup ia berjuang untuk mengendalikan lingkungan atau orang-orang terdekat supaya selalu memperhatikannya. Orang demikian berusaha membuat dirinya diterima dan dimiliki oleh orang lain – meski harus “mengorbankan” diri. Orang ini begitu cemas dan takut jika kehilangan orang yang selama ini memilikinya; karena perasaan “dimiliki” ini identik dengan harga dirinya – dan sebaliknya ia akan kehilangan harga diri jika kehilangan pemilik.



Dampak



Akibat kecanduan cinta bisa dirasakan secara langsung oleh yang bersangkutan, karena orang itu tidak dapat menikmati hubungan yang terjalin karena pikiran dan perasaannya selalu diliputi ketakutan. Dan tidak jarang ketakutan tersebut makin tidak rasional dan melahirkan tindakan yang tidak rasional pula, misalnya tidak memperbolehkan pasangannya pergi kerja karena takut direbut orang.



Bagi Individu Bersangkutan

Akibat jangka menengah dan jangka panjang adalah individu yang bersangkutan akan berada dalam kondisi emosi yang labil dan menjadi terlalu sensitif.  Individu tersebut mudah curiga pada teman, sahabat, kegiatan, pekerjaan, bahkan keluarga pasangannya. Selain itu  ia menjadi mudah marah, cepat tersinggung dan bagi sebagian orang bahkan ada yang bertindak agresif dan kasar demi mengendalikan keinginan dan kehidupan pasangannya. Pasangannya tidak diijinkan untuk punya agenda tersendiri; pokoknya harus mengikuti keinginannya dan 100% memperhatikannya. Individu tersebut juga mudah merasa lemah, lelah dan lemas. Pasalnya, seluruh energinya sudah dipergunakan untuk mengantisipasi ketakutan yang tidak beralasan dan melakukan tindakan untuk menjaga pertahanannya. Nah, kehidupan demikian membuat dirinya menjadi manusia tidak produktif. Sehari-hari yang dipikirkan dan diusahkan hanyalah bagaimana supaya “miliknya terjaga”.

Bagi Pasangan

Banyak orang yang tidak sadar kalau dirinya terlibat dalam pola hubungan yang addictive sampai akhirnya ia merasa stress, tertekan namun tidak berani/takut/tidak berdaya untuk memutuskan hubungan yang sudah berjalan beberapa waktu. Bagi sebagian orang yang cukup sadar dan mempunyai kekuatan pribadi, ia akan berani mengambil sikap tegas dalam menentukan arahnya sendiri. Namun, banyak pula orang yang “memilih” untuk tetap dalam lingkaran demand-supply tersebut karena ternyata dirinya sendiri juga mengalami masalah dan kebutuhan yang sama. Jika demikian halnya, maka hubungan yang ada bukannya mengembangkan dan mendewasakan kedua belah pihak, namun malah semakin memperkuat ketergantungan cinta keduanya. Situasi ini lah yang sering dikaburkan dengan hubungan yang romantis dan cinta buta.

Penanggulangan



Menurut para ahli psikologi dan kesehatan mental, salah satu syarat utama untuk dapat menjalin hubungan yang sehat dan sekaligus menjalani kehidupan yang produktif adalah mempunyai kesehatan mental yang sehat dan identitas diri yang solid. Kondisi positif demikian akan menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat sehingga orang tersebut tidak membutuhkan dukungan dan pengakuan orang lain untuk memperkuat sense of self-nya. Jadi, untuk mengembalikan seseorang pada bentuk hubungan yang sehat, langkah awal yang diperlukan adalah memperkuat pribadinya terlebih dahulu. Dengan meningkatkan sumber kekuatan psikologis secara internal, akan mengurangi ketergantungannya pada kekuatan eksternal. Orang itu harus merasa aman dan percaya dengan dirinya sendiri untuk bisa merasa aman dalam setiap jalinan hubungan dengan orang lain. Ada kalanya, orang-orang demikian membutuhkan bantuan para profesional untuk membimbing dan mengarahkan mereka membangun pribadi yang positif. (jr)
»»  BACA LAGI...

Wednesday, November 9, 2011

Piala Anggur Cinta



Piala Anggur Cinta
sepiala saja , penuh dan berbuih, kan kuteguk dengan mulut berguman
dunia-dunia berputar-putar, kerna kepala berputar-putar, maka tangan lurus bak kitiran
setegukan saja, kusedikit merintih, tuak hati memerah bergelegakan
leher-leher bermerahan, pipi-pipi pun panas , maka langkah terhoyong-hoyong kiri dan kanan
lupakan diri adalah membenamkan diri ke dalam jilatan api Cinta sepenuhnya
tangan dan kaki menjadi abu, pula tulang-tulang dan segenap badan, juga jiwa dan ingatannya
lenyapkan diri adalah dengan meneguk Spiritus Cinta dan terhuyung jatuh bakarlah usus sepenuhnya
maka saat hati terbakar, memutih menjadi abu, tumbuh sekuntum mawar Cinta yang wanginya lebihi setaman, kelopaknya adalah Allah-Allah-Allah
di negri ketiadaan, tiada awan melainkan Cadar Nya
di negri ketiadaan, tiada sungai melainkan SegarNya
di negri ketiadaan, tiada laut melainkan IlmuNya
di negri ketiadaan, tiada Jiwa melainkan JiwaNya
di kota ketiadaan, tiada bangunan melainkan ArsyiNya
di kota ketiadaan, tiada sekolah melainkan FirmanNya
di kota ketiadaan, tiada seni melainkan CintaNya
di kota ketiadaan, tiada merah melainkan GincuNya
di rumah ketiadaan, tiada atap melainkan AmpunanNya
di rumah ketiadaan, tiada piala melainkan AnggurNya
di rumah ketiadaan, tiada lilin melainkan ApiNya
di rumah ketiadaan, tiada suara gitar melainkan Desah KesendirianNya
di kamar ketiadaan, tiada kasur-ranjang tapi kefaqiran tak pula selimut tapi kedinginan
di kamar ketiadaan, tiada sejadah apapun tapi jiwa gemetaran tak pula gadis cantik molek rupawan
di noktah ketiadaan, Aku-lah Kebenaran
di noktah ketiadaan, Aku-lah Gusti Pangeran
di noktah ketiadaan, Bercerlangan Zat Tuhan
di noktah ketiadaan, Gemilangan Wangi Zat Tuhan

Hud-hud berkelana melayang, mencari Ruh Yang Turun pada Malam Suci Seribu Bulan. Ia bergumam, mustinya adalah Malam Suci-Nya dan titik, kerna Ia lebih dari Seribu Bulan. Tapi Ia bergumam pula, tapi lebih baik Malam Suci Seribu Bulan karena Ia Yang Sejati Tak Terbatas Tak Terperikan Dalam Kesendirian Dalam Keagungan Dalam Kesilauan Dalam Ketidaktahuan Dalam Lautan Keberadaan, tanpa terbatas, bahkan oleh Diri-Nya Sendiri.

Puja dan puji pun digumankan Hanya Pada Sang Maha Asmara, mawar-mawar yang selalu merekah di hati-hati yang patah, yang durinya bila terkena teramat pedih menggores bak suara rebab. Atau seperti suara seruling Majnun di malam hari yang senyap, di padang belantara yang luas, di musim dingin yang mencekam, yang berintihan bertangisan berjeritan Layla, Layla, Laylaaa.. Atau seperti wadag Rumi yang mengelilingi Jiwa dan Irama Sang Maha Cinta dari Tabriz, Syamsyuddin Sang Pecinta, berputar-putar seperti gasing berkeliling kepala pun pusing jantung dan hatipun seolah berhenti berdetak, tarbus melayang-layang tinggi , Duhai Syamsyuddin Sang Maha Asmara.

Sungguh yang tiada memahami Asmara bukanlah bagian dari kami, kata seorang darwisy. Sungguh yang tiada memahami geletar Asmara bukanlah bagian dari mukmin, kata seorang saleh. Sungguh yang tiada memahami senar dan grip-grip Asmara bukanlah bagian dari muhsin, kata seoran faqir. Tapi Hud-Hud katakan padaku, perkara yang benar adalah siapa dan apa yang tak senantiasa menggeletar terhempaskan Gelombang Samudera Asmara bukanlah bagian dari alam maujud. Alias ketiadaan mutlak.

Crengg….., senar gitar Espanola menyentuh lembut lembar-lembar Asma Waduudu dari goresan janji Alastu yang dulu kupatrikan didepan Kekasih. Getarannya lembut seperti alis lentik yang melindungi kelopak lembut dan mata-mata besar berkejap nan tatapannya teramat dalam. Alastu menghunjam lembut di rerelungan terdalam hati, geloranya sejuk bak sumber mata air cemerlang gemilang. Dimulai dengan penolakan akan segala dan penegasan akan Aku yang satu, Alastu menyumberi rasa-rasa lembut, takut dan harapan Cinta Ilahiyyah. Piala Alastu,- yang berisikan Anggur-Anggur Berusia Tujuh Abad- , memabokkan jasad maupun batin maupun batin dari batin dan Batin dari Segala Batin sehingga sang penenggaknya akan menjadi Pemabuk Sejati. Yang lupa akan dirinya sendiri seluruhnya. Yang lupa akan segala-galanya seluruhnya. Ia menjadi sempit sekali dihimpit oleh al-qoobidhu sehingga menjadi bak titik ketiadaan, tapi pada saat yang sama ia menjadi luas melayang terbang ke milyunan alam manifestasi-Nya diluaskan oleh al-baasithu. Sebuah titik noktah tak bervolume tak berwaktu tak ber-ruang tak terperi adalah titik -tu, dan sungguh bentuk lampau dalam -tu mungkin adalah penunjukkan akan kekekalannya.

Al-waduudu mengarungi alam keberadaan dengan membawakan Anggur-Anggur Tujuh Abad dan menuangkannya di kedai-kedai tuak dalam piala Alastu. Bergelimpangan para hamba pecinta mencicipi setegukannya, apa - lagi sepiala penuh. Ohhh, serasa bumi menjadi langit dan langit menjadi bumi dan serasa alam material mengkerut lenyap tak lebih dari setitik saja, atau lebih kecil dari itu, atau tak terfikirkan lagi, atau memang ia hanyalah bayangan keberadaan dalam ketiadaan. Setiap manifestasi al-waduudu terpaksa membatasi yang lain, Rambut-Nya membagi alam-alam menjadi tak hingga, Pipi-Nya membuat alam-alam mengkristal karena rindu pada-Nya, Senyum-Nya membuat kiamat alam-alam kerna teramat rindu pada-Nya, apa lagi elusan-Nya?
»»  BACA LAGI...

Friday, October 28, 2011

Kalah Itu Indah



Oleh: Gede Prama


Entah dari mana asal usulnya, entah mulai dari wacana, entah dari masyarakat dengan ciri ego centered society, entah merupakan ekses negatif dari individualisme berlebihan, yang jelas wacana kita - di dunia politik, bisnis maupun dunia lainnya - sangat dominan diwarnai oleh kecenderungan hanya mau menang. Jarang sekali - kalau tidak mau dikatakan tidak ada - ada pihak-pihak yang secara ikhlas rela kalah.

Ibarat turnamen sepak bola, juara satunya selalu satu. Sedangkan yang bukan juara satu selalu jumlahnya lebih banyak dari satu. Sehingga kalau dilakukan adu jotos antara totalitas manusia yang kalah dengan mereka yang menang, maka juara satunya pasti babak belur.
Dalam perspektif seperti ini, apa yang terjadi di dunia politik khususnya di bulan-bulan terakhir ini sebenarnya mencerminkan tiga hal penting. Pertama, tidak ada pihak yang mau kalah. Seolah-olah kalah adalah barang haram dan hina dina. Kedua, siapa saja yang jadi pemenang hampir selalu berada pada posisi tersiksa diserang dari kiri-kanan. Ketiga, sebagai akibat dari point pertama dan kedua tadi, maka arena politik kita lebih mirip dengan arena kerusuhan, dibandingkan turnamen sepak bola plus nilai-nilai sportivitasnya.

Mari kita mulai dengan point pertama tentang tiadanya orang yang mau kalah. Dengan sedikit kejernihan saya ingin mengajak Anda bertutur, dalam turnamen olah raga umumnya, kalah disamping menjadi resiko bagi siapa saja yang mau ikut pertandingan, kalah sebenarnya bersifat mulia. Dikatakan mulia, karena di bahu pihak-pihak yang kalahlah nasib kemeriahan dan kedamaian pertandingan ditentukan. Untuk menang, Anda dan saya tidak memerlukan kearifan dan kebesaran jiwa. Semuanya serba menyenangkan, bermandikan tepuk tangan dan kekaguman orang, dan yang paling penting keluar dari lapangan berselimutkan pujian banyak orang. Namun untuk kalah, ceritanya jauh sekali berbeda. Ejekan dan makian orang memang kadang datang. Usaha kita memang terasa sia-sia. Banyak mata yang tadinya bersahabat jadi bermusuhan.

Akan tetapi, di balik semua ejekan dan hinaan tadi tersembunyi danau-danau kemuliaan yang amat luas. Fundamen dasar bangunan demokrasi masyarakat manapun, dibangun di atas jutaan bahu manusia-manusia yang kalah. Tidak ada satupun bangsa bisa membuat dirinya jadi demokratis tanpa fundamen terakhir. Dengan kata lain, keindahan demokrasi - kalau mau jujur - lebih banyak ditentukan oleh pihak yang kalah. Keindahan tadi berubah menjadi kemuliaan, karena sudah disebut kalah plus seluruh makian orang banyak, tetapi malah lebih menentukan nasib orang banyak.

Anda bisa bayangkan nasib Jepang yang berganti Perdana Menteri demikian sering, nasib Amerika yang telah berganti presiden puluhan kali, serta nasib bangsa-bangsa lain yang sudah berganti pemimpin demikian sering. Tanpa kebesaran jiwa pihak yang kalah, setiap pergantian pemimpin akan ditandai oleh kemunduran akibat kerusuhan-kerusuhan yang tidak perlu.
Ini dari segi pihak yang kalah. Dari segi pemenang, menang memang menghadirkan banyak kemewahan-kemewahan. Kekaguman, tepuk tangan, jumlah pengikut yang bertambah, sampai dengan kekuasaan yang menyilaukan. Semua ini memang buah hasil dari perjuangan panjang dan melelahkan. Bagi banyak pemenang, ini memang hadiah yang layak diterima. Hanya saja, sadar bahwa bangunan institusi demokrasi di manapun senantiasa dibangun di atas jutaan bahu-bahu manusia kalah, selayaknya pemenang sadar di atas bangunan apa mereka berdiri.
Dalam bangunan fisik yang sebenarnya, fundamennya adalah bata, pasir, semen dan barang-barang mati lainnya. Bangunan demokrasi berdiri di atas bahu-bahu manusia kalah yang hidup, dinamis, mengenal emosi dan kalkulasi-kalkulasi politik. Makanya, sungguh mengagumkan bagi saya, ketika George W. Bush memulai pidato pertamanya sebagai presiden AS dengan kalimat indah seperti ini : 'I was not elected as President to serve one party, but to serve one nation'.

Lepas dari keindahan-keindahan demokrasi negara lain, suka tidak suka kita sedang berhadapan dengan arena politik yang jauh dari indah. Entah mana yang benar, seorang sahabat menyebut kalau orang kalah yang tidak tahu dirilah yang menjadi biang dari kondisi kita. Ada juga yang berargumen, pemenang yang sombong dan angkuhlah yang menjadi awal semuanya. Dan bagi saya, semuanya sudah tercampur menjadi adonan-adonan kerusuhan yang mengerikan dan menakutkan.

Sebagaimana sulitnya memisahkan campuran bubur ayam yang sudah demikian menyatu, memisahkan kedua campuran adonan kerusuhan ini memang amat sulit - kalau tidak mau disebut niscaya. Apapun solusinya, kita semua memiliki kepentingan untuk mendidik generasi masa depan bahwa tidak hanya kemenangan yang menghasilkan keindahan, kalah juga bisa berakhir indah. Kemenangan memang menghasilkan banyak kegembiraan dan kebanggaan. Namun kekalahan adalah gurunya kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh kemenangan manapun. Dan yang paling penting, siapa saja yang kalah, kemudian bisa keluar dari ring pertandingan dengan tersenyum ikhlas dan menyalami pemenangnya, plus membantu pemenang dalam kenyataan sehari-hari demi kemajuan bersama, merekalah pemimpin kita yang sebenarnya. Kendati tanpa jabatan, pasukan, kekuasaan, tahta, pujian dan tepuk tangan orang lain, merekalah the true leaders. Punyakah kita the true leaders seperti itu ?.

»»  BACA LAGI...

Kulturalisme vs Strukturalisme



           Konsep Raymond Williams tentang kebudayaan, dalam cultural studies disebut kulturalisme. Karya-karya dengan pendekatan empiris—yang sangat ditekankan dalam tradisi kulturalis—mengeksplorasi bagaimana manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya. Penelitian berfokus pada pengalaman hidup dan mengadopsi definisi umum tentang kebudayaan dari perspektif antropologi, dimana hidup sehari-hari tidak dibedakan dari seni (tinggi). Secara lebih khusus, kulturalisme yang dipraktekkan Williams (juga Hoggart dan Thompson) yang biasa disebut kulturalisme kiri, merupakan sebentuk materialisme historis-kultural yang mengeksplorasi kebudayaan dalam konteks kondisi-kondisi material ketika ia diproduksi dan dikonsumsi. Jika kulturalisme menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah, maka strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents). Sebagaimana ditunjukkan Chris Barker (2000), strukturalisme sebenarnya bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman.


Tetapi strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand deSaussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan dll (lihat KUNCI edisi 4).

Dalam konteks pengabaian human agents, strukturalisme bersifat antihumanis. Konsep strukturalisme tentang kebudayaan lebih memusatkan perhatiannya pada sistem-sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu (umumnya bahasa) dan aturan-aturan bahasa yang memungkinkan terjadinya makna. Sementara menurut Williams (1980), teks hanyalah bagian dari cara berpikir yang diproduksi oleh perubahan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Kata Williams, “Kita harus berhenti dari prosedur umum untuk mengisolir objek dan kemudian menyelidiki komponen-komponennya. Sebaliknya kita harus menyelidiki praktek-praktek dan kemudian kondisi-kondisinya”.

Jika kulturalisme menekankan sejarah, maka strukturalisme justru menekankan pendekatan sinkronik, relasi-relasi struktur dianalisa dalam potongan-potongan peristiwa yang bersifat khusus. Di sini strukturalisme sangat menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena lainnya. Dan jika kulturalisme memfokuskan diri pada interpretasi sebagai jalan untuk memahami makna, maka strukturalisme justru menegaskan perlunya sebuah ilmu tentang tanda yang bersifat objektif. Dekonstruksi Pascastrukturalisme Pandangan strukturalisme tentang makna yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, sama dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Kestabilan makna inilah yang menjadi pusat serangan pascastrukturalisme atas strukturalisme.Tokoh-tokoh utama pascastrukturalisme, seperti Derrida dan Foucault, menyatakan bahwa makna tidaklah stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil dari hubungan antarteks: intertektualitas. Sama seperti strukturalisme, pascastrukturalisme juga bersifat antihumanis. Derrida (1976) menyatakan bahwa kita berpikir hanya dengan tanda-tanda, tidak ada makna asli yang bersirkulasi di luar representasi. Dan Foucault menyatakan (1984) menyatakan bahwa manusia hanyalah produk dari sejarah.
»»  BACA LAGI...